BERHENTI
Dan berjam-jam kemudian aku akan pensiun menjadi tetangga merangkap sahabat dekatmu. Yang biasanya, akumulasi rasa rindu sudah bisa terendam dengan diam-diam melewati rumahmu dan puas memandangi pagar putihmu yang tinggi. Jarak tipis 3 cm diatas bentangan peta dunia menjadi kian melebar jika dikalikan dengan skala jarak sesungguhnya. Nantinya, aku harus mencari cara lain untuk membebat hati, jika sewaktu-waktu aku kangen kamu. Akan semakin sulit untukku untuk mengamati mu. Memperhatikan kerut-kerut diwajahmu bila sedang sibuk berpikir. Atau sekedar mengingatkanmu jika kukumu sudah agak panjang dan perlu dipotong.
Tidak akan ada kamu di saat aku terbahak-bahak kegirangan atau menangis tersedu pilu karena tetek bengek hidup yang terkadang kelewat mengecewakan. Tidak akan ada guyonanmu yang selalu berujung gelak tawa atau sesungging senyum datar tanda bercandamu kelewat kasar ditelingaku. Tidak ada segelas coklat hangat Dunkin Donuts dan seporsi tuna sandwhich yang dibagi berdua karena kita sedang krisis duit. Tidak ada tumpangan gratis kalau aku bangun kesiangan. Tidak ada lagi malam yang kita tutup berdua dan kecupan “selamat malam”. Dan membatulah semua itu menjadi sejarah dalam hitungan sekian jam terhitung dari sekarang.
Kamu, si embrio masa lalu ku, sekarang duduk di depanku. Sengaja berkunjung ke rumah untuk sepenggal kata perpisahan. Mengapa tidak di bandara saja, tanyaku di telvon sebelum kamu datang dan mengetuk pintu. Satu pertanyaan sederhana yang tidak kamu jawab selain dengan ucapan penegasan, aku berangkat sekarang.
Dan, disinilah kamu.
Disinilah aku.
Kita.
Tanpa ada tanda-tanda gejala akan sedang berlangsungnya prosesi perpisahan dua kawan lama yang sudah bersahabat semenjak kita resmi mengenakan bawahan abu-abu ke sekolah. Yang dalam rentang waktu sedemikian panjangnya, di tengahnya aku diam-diam mulai memasukkan percikan cinta di dalamnya. Semua yang bersangkut paut dengamu tidak semata-mata kulakukan atas nama sahabat lama. Lebih dari itu. Ada cinta tersembunyi yang kuyakini hanya berjalan satu arah. Yang meski begitu, tak lelah aku beri.
Walaupun aku adalah seseorang yang gemar mendokumentasikan hari, aku tak pernah ingat kapan tepatnya rasa bahagia yang berbaur dengan lara cinta terpendam ini dimulai. Atau mungkin memang inilah bentuk rasa yang berkembang. Pelan-pelan sewujud rasa sayang sahabat berubah menjadi bentuk rasa cinta yang mendamba balasan. Cinta dan sayang. Apalah bedanya. 2 hal yang kelewat absurd, seperti gradasi warna. Tak ada batasan yang stagnan di titik mana warna kuning lantas silih menjadi oranye. Atau warna hitam beralih menjadi putih.
Sepiring mie goreng tek-tek sudah kamu tandas habis. Kamu lapar? tanyaku. Kamu hanya tertawa hingga kedua matamu menyipit. Mengira aku sedang bergurau menyindir. Padahal aku sungguh bertanya. Tanpa maksud untuk bercanda. Kamu selalu salah mengartikan apa yang ku buat untukmu. Seperti yang sudah-sudah. Entah berapa banyak hal kecil lain yang segenap hati aku lakukan untukmu, namun kau anggap, lagi-lagi, hanya refleksi cinta seorang sahabat.
Kadang aku bertanya-tanya, pernahkah kamu merenung tentang aku, tentang kita. Pernahkah kamu sejenak berfikir mengapa aku selalu ada untuk kamu. Mengapa, meski ada pria yang lain, aku tak pernah menaruh jarak untuk kita. Yang walau semengantuk apapun, aku selalu sedia mendengarkan curhatanmu berjam-jam lewat televon dan kubayar dengan kuping merah karena kepanasan. Jangan katakan kalau kamu mengira aku begitu karena kamu adalah sahabatku. Seolah-olah kamu adalah satu-satunya sahabat pria yang aku punya.
Rasakanlah. Aku menyentuh hidup dan hatimu dengan cara yang berbeda dari yang lainnya.
Dan kamu masih diam bergeming tak tahu menahu.
Atau mungkinkah kamu tak mau tahu tentang ini semua?
Ini buat kamu. Sebuah bola kaca seukuran kepalan tangan kamu keluarkan dari balik jaket. Bola kaca yang didalamnya ada miniature masjid Moscow ditutupi salju putih.
Aku ingat. Sebulan yang lalu.
Aku juga pengen foto disitu. Ujarku spontan saat melihat-lihat foto hasil perjalanan studimu ke Moscow. Kamu hanya tertawa ringan dan berseloroh, makanya kesini dong. Percakapan pendek yang tersalurkan lewat ketikan keyboard dan layar computer. Dialog pendek. Hanya itu.
Dan sekarang tanganku menggenggam hasil obrolan singkat itu. Ada rasa senang. Tapi rasa bingung kian mendominasi hatiku hingga aku ingin jatuh meringkuk dan menangis sejadi-jadinya. Apa maksudnya, aku bertanya dalam hati. Aku tersenyum lebar dan berkata terima kasih. Tapi hatiku remuk. Aku ingin menangis. Aku ingin pagi lekas datang, dan aku cepat pergi dari hadapanmu. Dan berlalulah masa meragu dan bimbang lagi seperti ini.
Selalu begitu adanya.
Kamu tanpa umbaran janji datang membawa sekerlip mimpi yang bagiku adalah hujanan harapan.
Kamu selalu ingat apa yang aku kata. Otakmu seperti merekam tiap tutur yang aku ucap. Dan laksana peri dengan tongkat ajaibnya, kamu siap mengabulkan tiap pinta yang aku panjat. Salahi aku bila aku masih saja percaya ada sebongkah cinta yang tereselip dalam hatimu, menunggu untuk terkuak dan tersadari. Percaya saja. Tanpa embel-embel logika. Intuisi berkata, dan pikiranku hanya duduk diam. Meski tak pernah ku dengar kamu berkata aku sayang kamu. Atau mungkin, dirikukah yang sedang berhalusinasi?
Kamu memelukku erat.
Ini bukan pelukkan yang pertama. Namun ini menjadi sebuah pelukan bernilai historical tinggi. Setidaknya untukku. Mengingat betapa erat kamu memelukku. Mengingat berapa lama tubuh kita melekat satu sama lain. Mengingat, dalam hitungan jam, dua raga ini tak akan saling berjumpa untuk waktu yang entah berapa lama.
Aku diam. Begitupun kamu. Hanya terdengar suara tiupan angin kering kemarau dan hela tarikan nafas kita berganti.
Selamat jalan. Kamu mengecup pipiku pelan dan tersenyum. Semoga betah disana, katamu. Aku hanya tersenyum datar. Berusaha keras untuk menahan isak yang sedari tadi sudah hendak tumpah. Ini hanya perpisahan antara kamu dan aku. Dua orang yang tersatukan atas ikatan persahabatan tanpa berpijak pada komitmen cinta. Tapi ini terasa seperti moment putus cinta untukku. Mengenyahkan segala rutinitas yang telah dijalani selama sekian tahun hingga menjadi serentetan ritual, tentunya bukan perkara mudah. Harus ada proses transformasi yang mensyaratkan rasa kehilangan yang dahsyat. Aku harus siap untuk sesuatu yang tiada pernah aku minta
Kamu menutup pintu mobil, dan melambaikan tangan. Dan usailah upacara perpisahan kita. Untuk ini aku hanya berbisik dalam hati, selamat tinggal. Selamat tinggal untukmu dan cinta yang tersimpan.
Aku sudah lelah menangis diam-diam di malam hari. Bangun dengan mata sembab dan bantal basah.
Kotak dokumentasiku yang kujatah untukmu juga sudah penuh. Bola kaca itu, adalah benda terakhir yang sanggup masuk ke dalamnya. Untuk membeli satu kotak lagi aku sudah tak sanggup. Terlalu mahal harganya. Satu kotaknya saja aku bayar dengan tahunan penantian, sekian liter air mata, hati yang merintih, kepasrahan, kekecewaan, jutaan harapan kosong.
Sungguh aku tak berani membeli satu kotak lagi.
Sudah cukup semua.
Aku ingin berhenti.
Aku hanya ingin jujur.
Aku lelah dengan ritual sepiring berdua dan curhatan tengah malam.
Aku ingin membuka mata tanpa harus memikirkan sedang apa kamu sekarang.
Aku ingin hidup baru tanpa cerita sendu tentangmu, kotak putih dan bantal asin.
Sungguh pun itu harus kubayar dengan kehilangan kamu.
Si sahabat yang diam-diam aku cinta.
To : 0817*****
From : 0614***
I love you. Not as a friend, either best friend. I love you as woman to man.
Sent.
Dengan ini aku menjadikan diriku pilihan bagimu. Karena aku terlalu lelah. Atau mungkin terlalu takut untuk memilih.
Dedicated to sari: yang sudah menemukan sepotong cintanya yang lain. I wish you happiness ever after with him :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar